Rabu, 08 Juni 2011

Dampak Perceraian terhadap Anak

1. Reaksi berbeda

a. Reaksi anak berbeda-beda terhadap pereceraian orang tuanya. Semua tergantung umur, intensitas, serta lamanya konflik yang berlangsung sebelum terjadinya perceraian. Setiap anak menanggung kadar yang berbeda-beda.

b. Anak yang yang orang tuanya bercerai, terutama yang sudah berusia sekolah atau remaja biasanya merasa ikut bersalah dan bertanggung jawab atas kejadian itu.

c. Bagi anak-anak perceraian merupakan kehancuran keluarga yang akan mengacaukan kehidupan mereka  munculnya rasa cemas masa kini dan masa depannya  anak merasa menderita

2. Akibat emosional

a. Dalam suatu perceraian orang tua mencurahkan seluruh waktu dan uangnya untuk saling bertikai.

b. Mereka hanya memiliki waktu atau usaha untuk mengurangi akibat emosional yang menimpa anak-anaknya.

3. Sampai dua tahun

a. Dua tahun pertama setelah terjadinya perceraian merupakan masa-masa yang amat sulit bagi anak. Mereka biasanya kehilangan minat untuk pergi dan mengerjakan tugas-tugas sekolah, bersikap bermusuhan, agresif depresi, dan dalam beberapa kasus ada yang bunuh diri (Bugeiski dan Graziano) (dalam www.kompas.com).

b. Anak-anak yang orang tuanya bercerai menampakkan beberapa gejala fisik dan stress akibat perceraian tersebut, seperti insomnia, kehilangan nafsu makan, dan beberapa penyakit kulit.

4. Takut menjalin hubungan

a. Tidak pede dan takut menjalin kedekatan (intimacy) dengan lawan jenis  karena menganggapnya sama dengan ayah dan ibunya yang telah menghancurkan keluarganya  pacaran—putus, pacaran—putus.

b. Anak menjadi apatis  menarik diri atau sebaliknya

c. Self-esteem anak turun. rasa bersalah sangat besar, dendam pada orang tuanya  narkoba, alcohol, dan yang ekstrem, muncul pikiran untuk bunuh diri.

5. Anak merendahkan salah satu orang tua

a. Tidak ada rasa percaya pada orang tua.

b. Terlalu mengidentifikasi salah satu orang tua.

Tinjauan Psikologis
Tumbuh kembang anak seutuhnya dipengaruhi oleh empat factor yang saling berinteraksi satu dengan yang lainnya (Hawari, 1997), yaitu:
1. Faktor organobiologik
 Perkembangan mental intelektual dan mental emosional
 Pada kasus perceraian orang tua faktor ini kurang terpenuhi pada anak.
2. Faktor psiko- edukatif
 Unsur utamanya adalah kasih sayang
 Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang mengalami disfungsi keluarga mempunyai risiko lebih besar untuk terganggu tumbuhkembang jiwanya  karena kurangnya curahan kasih sayang orang tua karena perceraian.
3. Faktor social-budaya
 Dampak anti social anak atas perceraian orang tua mereka  hal ini sangat bertolak belakang dengan poin ini.
4. Faktor spiritual
 Orang tua mempunyai tanggung jawab besar terhadap tumbuh kembang anak agar bila dewasa kelak berilmu dan beriman.
Perceraian senantiasa memberi dampak yang negatif. Berawal dari hal tersebut, maka perlu dicari usaha-usaha untuk menanggulanginya.
Hal-hal sebaiknya dilakukan orangtua yang akan atau telah bercerai agar tak terlalu berdampak negatif pada anak:
1. Sejak awal, kalau bisa libatkan anak dalam proses perceraian. Paling tidak, anak akan merasa didengarkan, tidak hanya menerima perceraian orangtuanya secara tiba-tiba.
2. Jika perceraian terjadi, usahakan me-maintain rutinitas keluarga tetap seperti sediakala. Misalnya, tetap berkumpul bersama. Usahakan situasi tidak hilang begitu atau berubah total. Buatlah masa-masa transisi yang smooth, supaya anak juga bisa merasakan, 'Oh, mereka sudah tidak bersatu lagi tapi mereka masih sayang sama saya, saya juga masih bisa mendapatkan apa yang saya butuhkan dari mereka.'
3. Jangan ingkar janji. Kalau memang pernah berjanji untuk tetap selalu bertemu anak setelah perceraian, penuhi itu. Ini akan membangun rasa percaya (trust) anak pada orangtua. Ingat, tidak ada yang namanya bekas anak atau bekas orangtua.
4. Sebisa mungkin lebih terlibat dengan kegiatan sekolah anak, serta memberi dukungan yang dibutuhkan anak. Mungkin anak punya ketakutan, 'Wah nanti saya enggak bisa dijemput Papa-Mama lagi,' dan sebagainya.
5. Hindari pertentangan. Anak-anak sudah cukup menderita karena perceraian orangtuanya, jadi jangan tambah beban mereka dengan menentang mereka. Misalnya, salah satu orangtua merasa anak malah membela salah satu pihak, dan kemudian menyalahkan anak. Rasa marah, tak setuju, kecewa, itu merupakan proses anak dalam menghadapi perceraian orangtuanya. Justru anak harus dibantu mengungkapkan itu secara positif supaya tidak salah mengungkapkan.
6. Kalau memang perlu, libatkan dukungan pihak ketiga, misalnya kakek-nenek dalam masa transisi. Dan kalau memang merasa tak mampu mengatasi sendiri, berkonsultasilah dengan profesional.
(Hasto Prianggoro) (dalam www.tabloidnova.com)
Beberapa hal yang sebaiknya dilakukan (sikap) orangtua orangtua agar anak sukses beradaptasi, jika perpisahan atau perceraian terpaksa dilakukan (dalam www.ums.ac.id) adalah :
1. Begitu perceraian sudah menjadi rencana orangtua, segeralah memberi tahu anak bahwa akan terjadi perubahan dalam hidupnya, bahwa nanti anak tidak lagi tinggal bersama mama dan papa, tapi hanya dengan salah satunya.
2. Sebelum berpisah, ajaklah anak untuk melihat tempat tinggal yang baru (jika harus pindah rumah). Kalau anak akan tinggal bersama kakek dan nenek, maka kunjungan ke kakek dan nenek mulai dipersering. Kalau ayah/ibu keluar dari rumah dan tinggal sendiri, anak juga bisa mulai diajak untuk melihat calon rumah baru ayah/ibunya.
3. Di luar perubahan yang terjadi karena perceraian, usahakan agar sisi-sisi lain dan kegiatan rutin sehari-hari si anak tidak berubah. Misalnya, tetap mengantar anak ke sekolah atau mengajak pergi jalan-jalan.
4. Jelaskan kepada anak tentang perceraian tersebut. Jangan menganggap anak sebagai anak kecil yang tidak tahu apa-apa, jelaskan dengan menggunakan bahasa sederhana. Penjelasan ini mungkin perlu diulang ketika anak bertambah besar.
5. Jelaskan kepada anak bahwa perceraian yang terjadi bukan salah si anak.
6. Anak perlu selalu diyakinkan bahwa sekalipun orangtua bercerai tapi mereka tetap mencintai anak. Ini sangat penting dilakukan terutama dari orangtua yang pergi, dengan cara berkunjung, menelepon, mengirim surat atau kartu. Buatlah si anak tahu bahwa dirinya selalu diingat dan ada di hati orangtuanya.
7. Orangtua yang pergi, meyakinkan anak kalau ia menyetujui anak tinggal dengan orangtua yang tinggal, dan menyemangati anak agar menyukai tinggal bersama orangtuanya itu.
8. Orangtua yang tinggal bersama anak, memperbolehkan anak bertemu dengan orangtua yang pergi, meyakinkan anak bahwa dia menyetujui pertemuan tersebut dan menyemangati anak untuk menyukai pertemuan tersebut.
9. Kedua orangtua, merancang rencana pertemuan yang rutin, pasti, terprediksi dan konsisten antara anak dan orangtua yang pergi. Kalau anak sudah mulai beradaptasi dengan perceraian, jadwal pertemuan bisa dibuat dengan fleksibel. Penting buat anak untuk tetap bisa bertemu dengan kedua orangtuanya. Tetap bertemu dengan kedua orangtua membuat anak percaya bahwa ia dikasihi dan diinginkan. Kebanyakan anak yang membawa hingga dewasa perasaan-perasaan ditolak dan tidak berharga adalah akibat kehilangan kontak dengan orangtua yang pergi.
10. Tidak saling mengkritik atau menjelekkan salah satu pihak orangtua di depan anak.
11. Tidak menempatkan anak di tengah-tengah konflik. Misalnya dengan menjadikan anak sebagai pembawa pesan antar-kedua orangtua, menyuruh anak berbohong kepada salah satu orangtua, menyuruh anak untuk memihak pada satu orangtua saja. Anak menyayangi kedua orangtuanya, menempatkannya di tengah konflik akan membuatnya bingung, cemas dan mengalami konflik kesetiaan.
12. Tidak menjadikan anak sebagai senjata untuk menekan pihak lain demi membela dan mempertahankan diri sendiri. Misalnya mengancam pihak yang pergi untuk tidak boleh lagi bertemu dengan anak kalau tidak memberikan tunjangan; atau tidak diperbolehkan untuk bertemu dengan anak supaya pihak yang pergi merasa sakit hati, sebagai usaha membalas dendam.
13. Tetap mengasuh anak bersama-sama dengan mengenyampingkan perselisihan.
14. Memperkenankan anak untuk mengekspresikan emosinya. Beresponslah terhadap emosi anak dengan kasih sayang, bukan dengan kemarahan atau celaan. Anak mungkin bingung dan bertanya, biarkan mereka bertanya, jawablah pertanyaan tersebut baik-baik, dan bukan mengatakan "anak kecil mau tahu saja urusan ayah-ibu"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar