Jumat, 03 Juni 2011

ESENSI DIRI


Alkisah di suatu desa, ada kabar yang menggembirakan. Orang-orang di desa itu gembira mendengar
bahwa putra sulung sang kepala desa akhirnya akan pulang ke desanya setelah meraih gelar sebagai
seorang dokter. Rencananya, ia pulang untuk mencari istri alias pendamping hidupnya.
Mendengar si putra sulung kepala desa akan mencari seorang calon istri, Orang-orang di desa sibuk
memikirkan putri siapa yang pantas disandingkan dengan putra sulung kepala desa. Ketika
berkumpul di aula desa, diputuskanlah bahwa ada 3 orang gadis yang menurut mereka paling sesuai
disandingkan dengan putra sulung kepala desa.
Yang pertama adalah putri seorang juragan beras yang kaya di desa. Selain kaya, putri juragan ini
sangat cantik dan molek. Perawakannya bak peragawati. Ramping, langsing dan singset. Menurut
mereka, inilah pasangan yang cocok bagi putra sulung kepala desa. Yang satu cantik, dan yang
lainnya ganteng.
Yang kedua adalah putri bendahara desa. Bendahara desa adalah seorang yang terpelajar, semua
anaknya terpelajar. Putri sulung bendahara adalah seorang yang sangat pintar. Ia sangat jeli dan
banyak membantu ayahnya. Nantinya ia diharapkan bisa menjadi pengganti ayahnya sebagai
bendahara desa. Lagi-lagi, menurut orang-orang desa, inilah pasangan yang ideal. Sama-sama pintar,
bendahara pintar dan dokter hebat.
Yang ketiga adalah putri seorang dokter desa. Menurut orang-orang desa, pasangan ini ideal ‘wong
sama-sama dokter. Apalagi yang kurang?
Lalu, tibalah saat yang mendebarkan bagi seluruh isi desa. Putra sulung kepala desa akhirnya tiba di
desa. Untuk membuktikan pilihan siapa yang paling tepat. Maka bergiliranlah putri si juragan, putri
bendahara desa, dan putri dokter desa bertandang ke rumah Pak kepala desa untuk berkenalan
dengan putra sulung pak kepala desa. Tiga hari berturut-turut mereka berdatangan. Tetapi, tidak ada
satupun dari mereka yang dipilih oleh putra sulung kepala desa menjadi istrinya. Orang-orang di desa
terheran-heran akan kenyataan ini.
Satu bulan kemudian, putra sulung kepala desa meminang putri seorang tukang kayu. Setelah
melangsungkan pernikahan, mereka langsung meninggalkan desa, menuju ke kota tempat praktek si
putra sulung sebagai dokter.
Setelah kepergian mereka, orang-orang desa yang penasaran bertanya kepada Pak kepala desa.
“Bapak, kenapa anak bapak malah memilih anak seorang tukang kayu menjadi istrinya?” Dengan
tersenyum pak kepala desa menjawab,”Ia sudah memilih yang terbaik. Ia memilih apa yang ada di
dalam, bukan apa yang tampak di luar.”
“Maksud bapak?” Tanya orang-orang desa yang penasaran.
Lalu pak kepala desa menjelaskan dengan bijaksana “Benar, bukan putri juragan yang cantik, molek,
dan langsing yang dipilih anakku. Karena, ia tidak melihat fisik seseorang. Wajah yang cantik, tubuh
yang langsing tidak akan bertahan lama. Ia akan pudar seiring waktu. Bukan juga, putri bendahara
desa yang pintar. Karena, kepintaran tidak menjamin apapun. Ia juga tidak memilih putri dokter
desa. Karena, profesi hanyalah bagian dari pekerjaan seseorang. Bukan menentukan bagaimana
sebenarnya orang itu”
“Kalau akhirnya anakku memilih putri si tukang kayu, itu lebih karena esensi diri yang baik. Putri si
tukang kayu setiap sore selalu menyempatkan diri memberi minum pada beberapa kelinci yang tidak ia
pelihara. Meskipun ia telah lelah membantu ayahnya bekerja. Esensi dirinya yang sederhana, tulus,
dan rela melakukan pekerjaan yang sekecil apapun membuat anakku memilihnya sebagai pendamping
hidupnya. Itu adalah hal yang terpenting bagi anakku.”
Tuhan tidak memerlukan seorang worship leader yang cantik luar biasa atau langsing luar biasa di
dalam pelayanan-Nya. Tuhan juga tidak memerlukan seorang yang luar biasa pintar mengatur di
dalam pelayanan-Nya. Bahkan, Tuhan juga tidak memerlukan seseorang yang punya jabatan luar
biasa tinggi di perusahaannya untuk pelayanan-Nya.
Ia hanya melihat esensi diri kita. Hati kita yang tulus, rela dalam melakukan pelayanan-Nya. Itu
saja.
Tetapi berfirmanlah Tuhan kepada Samuel: “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang
tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan apa yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia
melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati.” ( 1 Samuel 16:7)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar