Sebuah puisi menulis seperti ini : Jangan mencari kesalahan orang yang timpang Atau tersandung-sandung di sepanjang jalan kehidupan, Kecuali engkau sudah mengenakan sepatu yang dipakainya, Atau menanggung beban yang dipikulnya Mungkin ada paku dalam sepatunya yang melukai kakinya, Meski tersembunyi dari pandanganmu, beban yang ditanggungnya, bila kaupikul di punggungmu, mungkin ‘kan membuatmu tersandung pula. Jangan terlalu keras pada orang yang melakukan kesalahan Atau melempari dia dengan kayu atau batu Kecuali engkau yakin, ya, sangat yakin, Bahwa kau sendiri tak punya kesalahan. *
Saya memiliki kebiasaan buruk, yang hampir semua dari Anda memilikinya juga. Menilai orang lain dengan poin yang sangat rendah. Dengan mudah kita akan berkata, begitu saja tak bisa, tak becus, dasar o’on, bodoh, tolol dan perkataan menyakitkan lainnya. Saat melihat orang lain melakukan kesalahan, dengan mudahnya kita mengetokkan palu layaknya hakim dan menundingnya dengan sinis, tanpa kita pernah mau tahu apa alasannya atau hal-hal apa yang membuat ia melakukan hal itu.
Giliran kita mengalami apa yang ia alami. Atau merasakan apa yang ia rasa. Atau melakukan apa yang ia lakukan. Belum tentu kita bisa melakukannya dengan baik, atau jangan-jangan poin kita justru ada dibawahnya. Lihat saja para penonton bola yang bisanya cuma teriak-teriak dan memaki-maki pemain yang sedikit saja melakukan kesalahan. Sesekali turun ke lapangan dong, dan tunjukkan permainan bola Anda!, demikian saya akan menantangnya.
Tak perlu menilai orang lain, sebab kita tidak pernah tahu seperti apa kita seandainya berada di posisinya. Belajar memahami orang lain jauh lebih baik daripada kita mengecamnya. Kita bukan manusia yang anti kesalahan, lalu mengapa kita begitu mudah mencaci kesalahan orang? Paling tidak kita harus pernah mengalaminya sendiri lebih dulu, barulah kita boleh berkata-kata.
Stop menilai orang lain sebelum kita mengalaminya lebih dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar