Alkisah, suatu malam, seorang buta berpamitan pulang dari mengunjungi sahabatnya yang sedang sakit.
"Hai sobat, aku pulang dulu ya, cepat sembuh deh biar lain kali kita bisa ngobrol lebih lama lagi."
"'Bentar, aku ambilin lentera dulu ya," sahut temannya.
"Hahaha....buat apa lentera? Lentera sebesar orang pun aku juga nggak bisa lihat. Sudahlah, aku pasti bisa pulang kok!"
"Di luar sudah gelap. Lentera ini untuk orang lain agar bisa melihat kamu, supaya mereka tidak menabrakmu," jawab sahabatnya dengan lembut.
Akhirnya si buta pun membawa lentera itu dalam perjalanan pulangnya.
Tak berapa lama, ada seorang pejalan kaki yang menabraknya. Dalam kagetnya dia berseru:
"Hai! Kamu kan punya mata, beri jalan buat orang buta dong!"
Si penabrak tidak ambil peduli, dan berlalu begitu saja.
Tidak terlalu jauh berjalan, seorang pejalan lainnya kembali menabrak si buta. Kali ini si buta mengumbar marahnya.
"Hai! Apa kamu buta? Tidak bisa melihat ya? Aku membawa lentera ini supaya kamu bisa lihat dan tidak nabrak orang."
Pejalan kaki itu dengan sengit menjawab,"Kamu yang buta! Lihat tuh, lenteramu padam!"
Keduanya sama-sama tertegun.
Si penabrak yang menyadari situasi segera berkata, "Oh oh, maaf. Sayalah yang 'buta', saya sungguh tidak melihat kalau Anda adalah orang buta."
"Tidak, tidak apa. Saya tidak tahu kalau lentera ini padam. Maafkan kata-kata2 kasar saya," jawab si buta tersipu malu.
Dengan tulus, si penabrak membantu menyalakan kembali lentera yang dibawa si buta, dan kemudian mereka pun melanjutkan perjalanan masing-masing.
Pada saat yang bersamaan, seorang pejalan kaki kebetulan berada di dekat situ. Dalam keremangan malam, nyaris saja dia menabrak mereka. Dalam hati dia berkata, "Rasanya lain kali aku harus membawa sebuah lentera juga. Jadi aku bisa melihat jalan dengan baik dan orang lain juga bisa ikut melihat jalan mereka."
Pembaca yang budiman,
Cerita tadi sesungguhnya mewakili berbagai karakter manusia. Si buta diselubungi kegelapan batin, keangkuhan, ego, dan kemarahan. Selalu menunjuk ke arah orang lain dan tidak mau mengakui kebebalannya. Tetapi di dalam perjalanan "pulang", dia belajar menjadi bijak. Ia menjadi lebih rendah hati karena menyadari kebutaannya dan adanya belas kasih dari pihak lain. Ia juga belajar menjadi pemaaf.
Penabrak pertama mewakili ketidakpedulian dan kurang kesadaran. Sedang penabrak kedua mewakili kondisi manusia pada umumnya: saat menyadari kesalahan, segera meminta maaf dan berusaha memperbaikinya.
Lentera melambangkan sinar dan terang!!! Dalam bahasa spiritual melambangkan sebagai kebijaksanaan.
Setiap manusia selayaknya menjadi lentera dan terang bagi dirinya sendiri, mampu melindungi diri sendiri, menghindarkan diri dari mara bahaya serta membawa terang bagi insan di sekitarnya.
Karena sesungguhnya, sejuta lentera dapat dinyalakan dari sebuah lentera, tanpa meredupkan sedikit pun terang cahayanya. Demikian pula dengan lentera kebijaksanaan, tak kan pernah habis terbagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar